blog mya wuryandari

Pengalaman Menangani Tongue Tie pada Bayi

1 komentar

 

tonguetie pada bayi

Assalamu’alaykum pembelajar, apa kabar? Semoga selalu sehat dan semangat belajar ya. Kali ini Ummi Mya ingin berbagi cerita pengalaman yang cukup membuat stress selama mengurus bayi. Ini adalah cerita dari anak ke 4 yang lahir di tahun 2017. Sekarang alhamdulillah anaknya sehat dan berusia 7 tahun, sudah masuk sekolah tingkat SD.

Meski sudah menangani 3 bayi sebelumnya, bukan berarti sama saja tinggal copy paste langkah-langkahnya. No, karena tiap anak unik, berbeda dengan pembawaannya masing-masing, dan ini adalah bagian dari sarana pembelajaran dari Allah karena dengan mengalaminya menuntut ummi belajar lebih banyak sebagai seorang ibu. Yuk lanjut..

Mengenal Tongue Tie pada Bayi

Apa Itu Tongue Tie

Dilansir dari Mayo Clinic, Tongue-tie (ankyloglossia) adalah suatu kondisi bawaan sejak lahir yang membatasi rentang gerak lidah.

Dengan pengikat lidah, pita jaringan yang sangat pendek, tebal atau ketat (frenulum lingual) menambatkan bagian bawah ujung lidah ke dasar mulut. Tergantung pada seberapa besar jaringan tersebut membatasi pergerakan lidah, hal ini dapat mengganggu proses menyusui. Seseorang yang mengalami lidah terikat mungkin akan kesulitan menjulurkan lidahnya. Lidah terikat juga dapat memengaruhi pola makan atau berbicara.
Terkadang lidah terikat mungkin tidak menimbulkan masalah. Beberapa kasus mungkin memerlukan prosedur bedah sederhana untuk koreksi.
Laman Ditjen Yankes Kementrian Kesehatan menyebutkan, hal ini diakibatkan karena adanya sisa embriologis dari jaringan membran frenulum di garis tengah antara permukaan bawah lidah dan dasar mulut - yang terlalu pendek, tebal, dan tidak elastis sehingga membatasi gerakan lidah normal. Insiden tongue tie dilaporkan berkisar 4,2-10,7% pada bayi baru lahir, dan hanya sekitar 25% keseluruhan kasus mengalami kesulitan menyusui. Kondisi tongue tie dapat merupakan varian genetik dalam keluarga.

Tongue tie masih dianggap menjadi pemicu kesulitan menyusui yang harus selalu diselesaikan dengan tindakan frenotomi. Padahal hanya sekitar 25 keseluruhan kasus yang mengalami kesulitan menyusui dan sebagian besar masih tetap dapat menyusu tanpa kendala apabila diberikan konseling dan pendampingan manajemen menyusui yang adekuat.

Diagnosis dan manajemen tongue tie masih tetap kontroversial sejak isu ini kembali diangkat sebagai penyebab kegagalan menyusui pada awal tahun 2000-an. Fenomena menarik dari isu tersebut adalah adanya perbedaan opini antar profesi kesehatan mengenai dampak tongue tie terhadap menyusui. Hampir 99% konsultan laktasi mempercayai bahwa tongue tie adalah pemicu kesulitan menyusui yang dapat diselesaikan dengan tindakan frenotomi, sedangkan hanya 30% dokter spesialis THTKL dan 10% dokter spesialis anak menyetujui pendapat tersebut.

Tongue tie lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Jika hal ini tidak menganggu aktivitas bayi maka hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Namun, jika bayi kesulitan untuk menyusu dan mengakibatkan berat badan bayi tidak naik atau bahkan cenderung menurun, hal ini harus segera diperiksakan ke dokter.

Gejala bayi yang mengalami tongue tie

Gejala bayi dengan tongue tie antara lain;

1. Lidah bayi tidak memiliki lekukan di ujungnya, sehingga lidahnya berbentuk seperti hati.

2. Sulit mengangkat atau menggerakkan lidah. Hal ini dapat menyebabkan lidah bayi tidak melekat dengan tepat pada puting susu saat menyusu.

3. Bayi butuh waktu lama untuk menyusu, tapi terlihat tetap lapar dan rewel meski baru saja menyusu.

4. Bayi mengeluarkan suara seperti mengecap saat menyusu.

5. Tidak mampu menjulurkan lidah melewati gusi atas.


Kapan bayi harus diperiksakan ke dokter?

Bayi yang mengalami tongue tie disarankan untuk segera ke dokter jika mengalami salah satu atau beberapa kondisi, seperti :

1. Kesulitan untuk menyusu.

2. Saat bayi mengalami tongue tie, bayi tidak dapat membuka mulut cukup lebar saat menyusu dari payudara sang ibu.

3. Kesulitan untuk berbicara dengan lancar.

4. Saat mengalami tongue tie, anak kesulitan mengucapakan kata-kata tertentu. Seperti beberapa kata yang terdiri dari huruf konsonan t, d, z, s, r dan lain-lain

5. Mengalami kesulitan untuk makan.

Ketika anak mengalami kesulitan untuk makan dikarenakan mengalami tongue tie, harus segera melakukan konsultasi ke dokter spesial anak. Karena hal ini dapat memengaruhi penambahan berat badan dan pertumbuhannya.

Tongue-tie pada bayi hingga saat ini belum diketahui penyebabnya dan tidak bisa dicegah. Namun, jika ibu melihat adanya tanda-tanda tongue-tie pada bayi yang berakibat bayi sulit menyusu hingga sulit makan dan terlambat bicara, jangan ragu untuk segera berkonsultasi ke dokter speasialis untuk mendapatkan penanganan yang tepat.


Awal Kecurigaan Tongue Tie

Kecurigaan adanya tongue tie pada bayi ke-4 kami sebenarnya ummi rasakan saat bayi berusia 1bulan, saat penimbangan rutin bulanan di Posyandu. KBM (Kenaikan Berat badan Minimum) di KMS yang seharusnya pada bulan pertama naik sebanyak 800 gram, namun bayi kami hanya bertambah 750 gram. Padahal untuk rentang usia yang sama, bayi-bayi sebelumnya mengalami kenaikan berat badan hingga 1 kilogram lebih, apalagi anak ke 3 yang berjenis kelamin laki-laki, naik hingga 2,3 kg karena menyusunya kuat.

Karena kurangnya dari KBM hanya sedikit, ummi mengambil langkah evaluasi mandiri, yakni mengatur manajemen ASI ulang. Saat itu, ummi hanya berpikir bisa jadi menyusunya kurang intens, karena merasa aman bayi banyak tidur. Ketika bayi tidur, ummi jadi bisa lakukan pekerjaan lain termasuk mengurus kakak-kakaknya. Sehingga saat itu, pikir ummi, bayi ini hanya perlu menyusu lebih intensif.

Langkah yang ummi lakukan adalah benar-benar memastikan waktu menyusunya rutin, di alarm tiap 3 jam, baik bayi sedang tidur biasanya akan ummi bangunkan untuk menyusu. Menyusu bergantian kanan-kiri dengan pola kanan-kanan-kiri-kiri. Ini dilakukan agar bayi mendapat hind milk yang mengandung banyak lemak, untuk mrningkatkan berat badannya. Efeknya, seringkali PD sebelah sudah penuh lebih dulu karena lebih lama jeda tidak dikeluarkannya, ini menimbulkan masalah baru juka tidak ditangani, akhirnya ummi pumping dan disimpan. Alhasil, ummi punya tabungan ASIP yang cukup banyak.

Terkadang asip juga ummi buang karena sedang tiap perlengkapan pumping dan penyimpanan yang memadai, biasanya ASI depan atau front milk yang lebih encer karena lemaknya lebih sedikit. Setelah diperah baru disusukan agar bayi mendapat hind milk lebih banyak.

Alhamdulillah, cara ini cukup membuahkan hasil. Bayi naik 1000 gram di bulan kedua, melebihi target KBM 900 gram. Di titik ini ummi mya menjadi tenang, mungkin memang masalah manajemen menyusuinya saja yang perlu diperbaiki. Meskipun ummi mya tetap memiliki kelebihan ASI yang disimpan, yang ternyata membawapada takdir lain, yakni berbagi ASI. Ya, qodarullah, karena produksi dengan kebutuhan ASI yang tidak sinkron, ummi mya malah jadi berkesempatan menjadi ibu susu bayi lain, sesama bayi perempuan yang lahir premature, sedang ibunya kesulitan memproduksi ASI yang cukup karena terjadi sumbatan dan si bayi pun memiliki tongue tie pula. Alhamdulillah ASIP yang tersimpan menjadi bermanfaat.


Saat Keberadaannya Terdeteksi


Hingga 6 bulan pertama, saat bayi kami masih ASI eksklusif, berat badannya tidak ada masalah. Kenaikan berat badan sesuai target KMS. Hanya saja ketika waktunya makan di usia 6 bulan,bayi kami tidak menunjukkan antusiasme makan seperti bayi pada umumnya. Ia hanya tertarik memegang makanan sebentar, diemut, lalu sudah ditinggalkan. Disuapi pun sama, sulit memasukkan makanan ke mulutnya, dan sering dilepeh. Ummi pun sempat berusaha menyiapkan berbagai menu yang mungkin disukai, namun makanan yang masuk tidak cukup banyak.

Karena masih kuat menyusui, berat badan bayi masih cukup memenuhi target KMS beberapa bulan selanjutnya. Ketika sampai usia 10 bulan dan mulai aktif merambat, qodarullah bayi terkena batuk pilek hingga cukup berat. Ditambah ia yang semakin tidak mau makan, berat badannya menyusut cukup banyak, ia jadi lebih rewel, tidak mau lepas gendongan dan malas bereksplorasi seperti biasanya merangkak atau merambat ke mana mana.

Ketika akhirnya kami berkunjung ke dokter spesialis anak, saat ia berusia 14 bulan, beliau menyatakan anak kami harus rawat inap, karena berat badannya mengkhawatirkan. Bayi kami pun dinyatakan gagal tumbuh, gizi buruk. Sedih sekali mendengarnya, perasaan bersalah sebagai ibu tentu saja maju ke depan. Kami pun menjalani perawatan di RS.

Setelah beberapa hari di rawat di RS, dokter mendiagnosa anak kami TB paru. Sehingga diberi resep OAT (Obat Anti TB). Namun saat itu kami menolak memberikannya kepada bayi kami karena tes Mantoux nya menunjukkan hasil negatif.setelah bertanya pada dokte yang menangani, beliau kekeh mendiagnosa TB karena berat badan yang kurang dan tidak menjelaskan alasan lainnya. Berdasar pengalaman kakak pertamanya yang hatinya sensitive terhadap obat, maka kami tidak ingin terburu-buru memberikan OAT pada bayi kami jika diagnosanya tidak cukup kuat. Karena kakaknya pun pernah didiagnosa TB paru dengan Mantoux negative pula, dan setelah dicari second opinion memang bukan benar-benar TB paru. Overdiagnosis ini rupanya tidak jarang terjadi, hal ini pernah ummi tuliskan juga di sini, semoga bermanfaat.

Perjalanan Menegakkan Diagnosa

Kami memutuskan untuk keluar dari RS tempat bayi kami dirawat dengan segala kosekuensinya. Namun kami tidak menyerah, kami mencari second opinion ke dokter spesialis anak lainnya, seorang konsulen respiratory (pernapasan). Setelah berkonsultasi, dokter setuju untuk tidak segera memberikan OAT, hanya saja memang bayi kami diminta untuk menaikkan berat badannya minimal 400 gram dalam 1 bulan, jika tidak tercapai, maka harus tes Mantoux ulang.

Kecurigaan tentang tongue tie sempat kami lontarkan, lantaran dokter bertanya apakah adik bayi pernah tersedak. Kami pun menjawab memang sering, karena meskipun sudah berusia 1 tahun, jika minum menggunakan sedotan, bayi biasanya terbatuk setelahnya seperti tersedak, apakah karena ada tongue tie. Namun dokter saat itu mengatakan tidak. Bisa jadi seperti yang dijelaskan di atas ya pembelajar, karena masalah tongue tie ini pun masih menjadi perdebatan antar ahli sekalipun.

Diet tinggi kalori ini bukan hal yang mudah mengingat bayi kami di usia menuju 15 bulan ini susah sekali makannya, meski ummi juga tidak menyerah memberikan beragam menu bersantan dan berlemak untuk meningkatkan berat badannya karena ASI saja sudah tidak cukup. Setelah dua pekan dijalani, ummi masih khawatir karena kenaikan berat badan bayi belum cukup signifikan. Kami pun memutuskan mencari tahu lebih tentang dugaan tongue tie ke dokter anak dengan gelar IBCLC (International Board Certified Lactation Consultant)), yang biasanya sudah paham tentang tongue tie ini.

Setelah berkonsultasi, menceritakan kecurigaan dari awal dan lainnya, dokter pun memeriksa lidah bayi kami, memasukkan jarinya meraba kemungkinan adanya tongue atau tidak. Hasilnya, dokter menyatakan bahwa benar, bayi kami memiliki tongue tie tipe 3 posterior. Kondisi di mana tali lidah bayi kami sedikit pendek dan tebal sehingga tidak cukup lentur pergerakannya. Jika mengeluarkan lidah (melet) saja mungkin bisa, ini kondisi yang membingungkan bagi kami kaena lidahnya terlhat cukup panjang, bisa dijulurkan (melet). Tipe ini memang nanggung, dalam artian dia mungkin mempengaruhi perkembangan namun tidak fatal dan langsung terdeteksi. Alhamdulillah kahirnya kami menemukan titik cerah, saat itu bayi kami tidak langsung diberi tindakan frenotomy (potong tali lidah), dokter menyarankan untuk diobservasi lebih dulu.

Pilihan Kami Menangani Tongue Tie pada Bayi

Penanganan tongue tie pada bayi tidak selalu harus melalui frenotomy. Hal ini dilakukan dengan melihat urgensitas kondisi bayi. Sahabat kami memiliki bayi yang sulit menyusu sejak lahir sehingga dalam satu bulan berat badannya bukan bertambah justru menurun, sehingga tindakan frenotomy harus dilakukan segera.

Berbeda dengan saran dokter untuk kami, melakukan observasi tambahan. Anehnya, setelah sesi konsultasi dan pemeriksaan lidah, esoknya saya mencoba menyuapi lagi bayi kami, dan ia terlihat cukup lahap dan bisa menelan makanannya dengan baik. Kami pun heran, mengapa begitu. Kadang memang, solusi itu datang sendiri tidak melalui ikhtiar yang sedang kita tempuh.

Karena bersemangat makan, akhirnya kami memutuskan untuk tidak melakukan frenotomy. Hanya sesekali memijat bagian tongue tie nya agar lentur, karena sepertinya dokter melakukan itu saat memeriksa bayi kami yang keesokannya ia bisa makan dengan baik. Tujuan kami saat itu memang bagaimana si bayi bisa makan dengan baik, karena jika tidak makan maka dia akan sulit ternutrisi dan sulit berkembang dengan baik. Satu bulan berlalu dan berat badan bayi pun meningkat hingga 800 gram. Kami pun semakin merasa aman dan merasa masalah sudah teratasi. Alhamdulillah, bayi semakin sehat dan aktif, yang akhirnya mulai bisa berjalan di usia 16 bulan (kakak-kakaknya bisa berjalan di usia 10-12 bulan).

Tantangan Selanjutnya

Ternyata perjuangan menghadapi tongue tie ini belum usai. Setelah tidak bermasalah dengan makan dan tumbuh kembangnya secara fisik terlihat mengalami kemajuan signifikan, masalah lainnya mulai muncul. Yakni, kemampuan bicara. Sebenarnya, anak kami memiliki antusias bicara yang cukup tinggi, hanya saja artikulasinya yang tidak sempurna. Ia kesulitan mengucap beberapa bunyi seperti yang dipaparkan di atas.

Namun kami memilih menghadapinya dengan berusaha memberikan treatmen fisiologis mandiri dan bersabar, terlebih prosedur pemotongan tali lidah di usia anak di atas 2 tahun tidak bisa hanya dengan frenotomy saja, namun melalui proses pembedahan yang disebut frenoplasty.

Tahun-tahun awal belajar bicaranya cukup membuat kami stress pula karena tidak memahami ucapannya. Kami menganggapnya ini bagian dari ujian kesabaran bagi kami karena tidak semua anak kami mengalaminya. Alhamdulillah di usianya yang kini mencapai 7 tahun bicaranya semakin jelas dan dapat dimengerti dengan baik.

Penutup

Setiap bayi membawa keunikannya masing-masing sesuai apa yang dikendaki oleh Allah untuk kita menerima dan menanganinya sebagailahan belajar, bersabar dan bersyukur dengannya.

Tetap semangat, jangan mudah menyerah pada kondisi dan belajar selalu karena membekali diri dengan ilmu akan membuat kia lebih bisa bersabar. Seperti apa yang dikatakan Nabi Khidr pada Nabi Musa di QS. Al Kahfi ayat 68;

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا

dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu?



Semoga bermanfaat teman-teman.

salam, Ummi Mya 



referensi

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2738/tongue-tie-pada-bayi

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/tongue-tie/symptoms-causes/syc-20378452

Terbaru Lebih lama

Related Posts

1 komentar

  1. Wah makasih kak seputar tongue tie ini. Jadi makin tahu ternyata yang bayi alami selama ini,


    Newsartstory

    BalasHapus

Posting Komentar