Minggu terakhir di bulan Januari ini, dunia memperingati Hari Kusta. Hari Kusta Sedunia (HKS) menjadi momentum yang baik untuk mengingatkan semua pihak bahwa kusta yang merupakan penyakit kuno ternyata masih ada di Indonesia dan makin terabaikan.
Di Indonesia, penemuan kasus baru kusta cenderung stagnan dalam 10 tahun terakhir, yakni ada sekitar 16.000 - 18.000 orang. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia.
Ketidaktahuan masyarakat tentang gejala kusta membuat mereka abai dan kurang waspada. Terlebih dengan stigma yang terus ada tentang penyakit ini, menyebabkan banyak orang dengan gejala kusta menjadi enggan memeriksakan dirinya. Akibatnya penularan kusta terus terjadi dan kasus disabilitas akibat kusta masih tinggi.
Di momentum hari kusta sedunia ini, KBR dan NLR kembali menyelenggarakan talkshow sebagai salah satu langkah edukasi pada masyarakat untuk memutus rantai penyebaran kusta. Beruntung di awal tahun ini bisa memulai kebaikan dengan mengikuti talkshow ini, terima kasih untuk 1minggu1cerita yang telah memfasilitasi. Talkshow ini bertajuk “Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!” Tema ini sejalan dengan tema Hari Kusta yang diangkat di tahun ini yaitu Mari bersama “Hapus stigma dan diskriminasi kusta! “
Sebenarnya, sejauh mana stigma dapat berdampak pada kehidupan orang dengan kusta, dan bagaimana pengalaman pribadi yang pernah dirasakan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) mengenai stigma yang ada, serta seberapa besar pengaruhnya hal ini terhadap upaya penanggulangan kusta di Indonesia, dibahas lebih dalam soal ini di Ruang Publik KBR kali ini. Narasumber talkshow kali ini adalah dr Astri Ferdiana, Technical Advisor NLR Indonesia dan Bapak Al Qadri, Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) yang juga merupakan Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional.
Kisah Pak Al Qadri : Mengalami Kusta di Usia Kanak-kanak
Setelah diantarkan oleh moderator, talkshow dibuka Pak Al Qadri dengan kisahnya yang terkena kusta di usia sangat dini, yaitu 6 tahun. Saat itu, pak Al Qadri baru saja hendak masuk Sekolah Dasar. Karena diketahui ada gejala kusta, pada waktu itu akhirnya pihak sekolah memutuskan tidak menerima Pak Al Qadri di sekolah tersebut dengan alasan usia yang belum cukup. Memang saat itu menjadi tabu untuk menyebutkan penyakit kusta, sehingga alasan utama penolakan sekolah tidak disampaikan secara terus terang. Dimaklumi pula kekhawatiran mereka jika anak-anak lain harus berinteraksi intens dengan anak yang mengalami kusta.Selain tidak diterima di sekolah, pak Al Qadri juga menerima perlakuan orang-orang di sekitarnya yang semakin menjauh, terdiskriminasi, termasuk juga keluarganya menerima diskriminasi pula, meskipun hanya Pak AL Qadri yang mengalami kusta. Sangat sulit untuk Pak Al Qadri bermain dan bergaul dengan teman-teman sebaya nya, karena orangtua mereka khawatir sehingga melarang anak-anak merka brmain dengan Pak Al Qadri.
Sakit diskriminasi lebih sakit daripada sakit kusta itu sendiri.
Demikian yang dirasakan Pak Al Qadri, apalagi hal tersebut dialaminya di usia yang masih dini. Meski tak bisa sekolah, tidak menyurutkan semangatnya untuk bisa belajar, terutama membaca dan menulis. Kemampuan Pak Al Qadri membaca dan menulis justru didapatkannya saat mengikuti kegiatan berantas buta aksara di wilayahnya. Meski harus belajar bersama orang-orang dewasa, akhirnya Pak Al Qadri bisa membaca.
Bersyukur kmudian ada sekolah inpres dibuka yang bisa diikuti anak-anak yang usianya sudah lebih besar, sehingga ketika sudah melakukan pengobatan, pak Al Qadri bisa menempuh pendidikan formal meski di usia yang sudah lebih besar.
Kesembuhan Pak Al Qadri juga tidak lepas dari upaya orangtuanya yang selalu berusaha mencari jalan kesembuhan. Banyak jalan ditempuh mulai medis hingga alternatif dan dukun. Mendatangi pusat-pusat kesehatan, segala pengobatan dijalankan. Saat itu, informasi dan edukasi tentang kusta sangat minim sehingga sulit menemukan solusi. Namun berkat kegigihan keluarganya yang terus brusaha, akhirnya pak Al Qadri dipertemukan dengan orang yang pernah mengalami kusta dan sudah sembuh. Tahun 1989 akhirnya pak Al Qadri dibawa orang yang pernah mengalami kusta tersebut, untuk berobat dengan benar.
Saat ini Pak Al Qadri aktif di organisasi Permata, yakni Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional sebagai Wakil Ketua, sebagai bagian dari upayanya membantu memberantas kusta di negeri ini.
Bersama NLR Indonesia : Fokus Eliminasi Kusta
Penjelasan selanjutnya disampaikan oleh dr Astri Ferdiana yang merupakan Technical Advisor NLR Indonesia. Menurut dokter Astri, kusta itu penyakit infeksius, hanya saja sifatnya kronis, sehingga bisa menyerang dalam waktu yang lama. Kusta disebabkan bakteri lepra yang menyerang saraf (saraf tepi). Jika kusta terlambat diobati atau dideteksi, akan muncul diformitas anatomi atau biasa disebut kecacatan.Awal gejala kusta itu sederhana, saking sederhananya, sering dianggap sakit kulit biasa, serti panu. Perbedaannya tidak gatal, tidak nyeri dan tidak bersisik, tidak ada rasa apa-apa. Tanda lainnya ada mati rasa kulitnya di area yang berwarna. Orang yang mengalami kusta tidak merasa sakit sehingga jika ada luka kadang tidak terasa. Hal ini yang membahayakan, karena tanpa sadar kusta telah menggerogoti organ.
Dokter Astri menyampaikan, NLR merupakan satu-satunya organisasi yang arah kerjanya untuk eliminasi kusta. Mengingat angka kusta di Indonesia yang masih tinggi, bahkan Indonesia masih memegang ranking 3 dalam jumlah kasus kusta setelah India dan Brazil
Maka kusta menjadi salah satu penyakit yang perlu perhatian khusus untuk ditangani. Tentu saja NLR pun butuh bantuan banyak pihak, bekerjasama dengan pemerintah, dinas kesehatan dan organisasi-organisasi orang yang pernah mengalami kusta.
Eliminiasi di sini, dijelaskan dokter Astri, artinya sudah bisa menekan angka kasus sampai di bawah 1/1000 penduduk. Dari 514 kabupaten di Indonesia, masih ada 98 kabupaten yang belum berhasil mengatasi kusta sampai optimal. Terutama di daerah Timur. Meski juga beberapa kabupaten ada di wilayah Jawa. Hal ini tentu saja menjadi PR kita bersama.
Stigmatisasi dan Diskriminasi Kusta
Bicara mengenai stigmatisasi, diakui pak Al Qadri memang sangat berat, membutuhkan banyak energi untuk menghilangkannya. Setelah seseorang divonis kusta, maka semua orang di sekitarnya mengalami ketakutan luar biasa untuk kontak dengan pasien kusta tersebut. Itulah yang juga dialami pak Al Qadri. Hal ini kemudian membuat banyak orang yang mengalami kusta merasa tidak berani berinteraksi dengan orang lain.Pak Al Qadri juga memiliki harapan sangat besar agar orang-orang bisa bersama sama memikirkan bagaimana agar stigma ini tidak membatasi para penyintas kusta dalam beraktifitas.
Orang yang mengalami kusta mengalami dobel stigma. Di Kampung Bugis misalnya, ketika ada yang pernah mengalami kusta, maka tidak ada, jika ia perempuan, yang berani melamar. Bagitu pula jika laki-laki, maka tidak ada yang bersedia menerima lamarannya.
Di daerah Sulawesi Selatan sendiri, ada kampung yang dijadikan kampung kusta, hal ini merupakan warisan bentukan jaman Belanda. Ada 8 kampung, meskipun di dalamnya sudah minim orang yang mengalami kusta. Di kampong sekitar pak Al Qadri sendiri, tercatat ada 1300 jiwa ada 400 orang yang mengalami kusta, dan yang mengalami kerusakan organ tidak sampai 200 orang.
Hal ini menunjukkan begitu kentalnya stigmatisasi serta diskriminasi terhadap pasien kusta, atau orang-orang yang pernah mengalami kusta, bahkan keluarga dari orang yang mengalami kusta, yang sebenarnya dia sehat dan tidak tertular.
Dokter Astri juga menambahkan, stigma memang masalah yang cukup kompleks, dibutuhkan upaya yang cukup komprehensif dan konsisten.
Dokter Astri dan tim pernah melakukan survey tahun 2020 di salah satu wilayah di Indonesia, dan mnemukan fakta menarik, bahwa masyarakat dan nakes mau bergaul dengan OYPMK tapi mereka tidak mau berinteraksi dekat, seperti tidak ingin mempekerjakan OYPMK, tidak mau menikahkan anaknya dengan OYPMK, tidak mau menerima tinggal di rumah miliknya (menjadi penyewa, anak kost dan sebagainya). Bahkan, baru saja di tahun 2022 ini, dokter Astri mendengar laporan, ada salah satu anak dari OYPMK yang gagal menikah karena ditolak keluarga dari calon pasangannya.
Untuk mengatasi ini memang diperlukan kerjasama dan bahu membahu. Kita harus sadar bahwa OYPMK memiliki hak dasar dan kesempatan yang sama dengan kita dalam berbagai hal. Untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, hal dalam kesempatan hukum, politik, berpendapat. OYPMK memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan kita.
Dokter Astri mengibaratkan orang yang memiliki hak, seperti orang yang sedang mengantri di kasir swalayan atau mini market. Ketika ada yang mengambil haknya dengan memotong antrian, maka kita tentu saja dengan percaya diri akan memperjuangkan hak kita. Kita akan bisa mengatakan, bahwa kita sudah lebih dulu mengantri, dan tidak berkenan jika oranglain memotong antrian kita.
Upaya Komprehensif Bersama Menanggulangi Kusta
Seperti yang disampaikan dokter Astri, dibutuhkan upaya yang cukup komprehensif dan konsisten untuk mengeliminasi kusta ini.Sebagian besar kegiatan NLR adalah arahnya ke peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari pasien, nakes, masyarakat sampai stakeholder, mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama. Peningkatan kesadaran agar bisa menyadari dan mengetahui apa itu kusta, menyadari mereka punya hak yang sama dengan kita.
NLR pun melakukannya dengan berbagai strategi; kampanye peningkatan kesadaran, pelatihan, kampanye via media, talkshow, media massa, juga mentarget berbagai kelompok masyarakat tidak hanya nakes dan sektor kesehatan saja, tapi juga lintas sektor. Termasuk di provinsi dan kabupaten, NLR juga melakukan advokasi ke pemerintah daerah untuk meningkatkan upaya memperhatikan kasus kusta di daerahnya.
Selain penanganan, ada upaya pencegahan pula terhadap kusta. Menjawab pertanyaan peserta talkshow tentang pencegahan kusta pada anak, doktr Astri menjelaskan, sangat pnting untuk mencegah kusta pada anak. Jika ia tinggal serumah dengan orang yang menderita kusta, maka orang yang mengalami kusta harus diobati, karena potensial menularkan. Harus segra dideteksi, kemudian diobati agar mengurangi risiko penularan. Karena jika sudah menjalani pengobatan maka sudah tidak menularkan lagi. Obat pencegahan kusta sendiri sudah mulai diberikan oleh kementrian kesehatan untuk orang-orang yang potensial tertular kusta karena hidup dekat dengan seseorang yang mengalami kusta. Obatnya hanya sekali minum, ada dosis dewasa dan anak-anak.
Kusta sendiri sebenarnya sulit menular dan proses penularannya tidak cepat. Ia tidak seperti virus yang penularannya sanagat cepat. Sesungguhnya kusta itu tidak membahayakan orang di sekitarnya. Pak Al Qadri yang mendrita kusta, di keluarga anak-anak yang terkena kusta hanya dirinya meski hidup dan tinggal bersama saudara-saudaranya. Pak Al Qadri pun menikah dengan OYPMK yang bahkan harus diamputasi karena tidak terselamatkan dari serangan kusta. Beliau berdua dikaruniai 2 anak yang alhamdulillah tidak mengalami kusta hingga dewasa.
Sebenarnya, tidak perlu ada kekhawatiran untuk berinteraksi dengan orang yang pernah mengalami kusta. Hanya 2% orang yang bisa tertular itupun yang memiliki imunitas yang tidak baik. Jika imun baik maka tidak ada masalah. Memang untuk anak usia dini, anak bayi diusahakan untuk tidak interaksi lama dengan orang yang menderita kusta, itupun jika yang belum berobat, jika sudah berobat sudah tidak menularkan insyaAllah.
Harapan Bersama
Sekali lagi, dokter Astri menyampaikan, harapannya Indonesia bisa mencapai kondisi di mana ditemukan angka nihil penularan, nihil disabilitas dan nihil stigmatisasi serta diskriminasi pasien kusta. Karena ini adalah rantai yang saling tersambung dan memberikan efek sebab akibat terhadap angka kasus dan penyebaran kusta.
Tanda utama paling umum bercak merah atau putih yang mati rasa. Jika sudah terjadi kelainan anatomis, itu sudah cukup terlambat. Cara mencegah tidak ada yang spesifik sebenernya. Menjauhi orang dengan kusta bukan cara pencegahan, tapi tindakan stigmatisasi. Cara mecegah kusta adalah dengan memutus rantai penularan. Langkahnya adalah dengan mendorong pasien kusta atau yang dengan gejala kusta untuk berobat dan mendorong scara sosial mendukung agar pasien mau menghabiskan obatnya agar bisa menyelesaikan pengobatannya. Karna pengobatan yang lama perlu mendapat dukungan utuk menyelesaikan obatnya. Kita harus bekerja sama memutus rantai penularan.
Jika kita merasa kontak erat dengan pasien kusta, maka kita bisa minum obat pencegahan kusta.
Harapan Pak Al Qadri, kita semua bisa bersama sama mengedukasi masyarakat dengan melibatkan orang orang yang pernah mengalami kusta tentang apa yang dihadapi tentang kusta ini sebenarnya. Harapan besar dengan kegiatan-kegiatan ini bisa mengedukasi masyarakat tentang kusta. Pasien kusta bisa sesegera mungkin memeriksakan dirinya agar tidak ada lagi yang mengalami disabilitas akibat kusta.
Maasya Allah, ternyata sedemikian kompleks masalah kusta sehingga kita perlu mengurai benang kusut mencari jalan memutus rantai penularannya. Tidak mudah, meski bukan hal yang tidak mungkin. Semoga kita bisa berperan meski sedikit, ikut memutus rantai penularan kusta dalam bentuk apapun yang kita mampu lakukan. Terimakasih pada NLR, KBR serta organisasi-organisasi para OYPMK serta pmerintah yang selalu bersinergi melakukan upaya terbaik untuk menihilkan kusta di negeri ini.
Posting Komentar
Posting Komentar