Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Hai pembelajar, bulan ini bahasnya kesehatan lagi nih, kalo kemarin kita bahas kesehatan ibu, sekarang bahas kesehatan anak ya.
Sambil kangen-kangenan sama anak mbarep yang lagi latihan mondok, saya jadi teringat saat ia sakit dulu. Karenanya, kali ini saya ingin berbagi pengalaman yang sebenarnya tidak menyenangkan, namun cukup menjadi pembelajaran. Dan saya berharap pembelajaran ini bisa menjadi tambahan referensi mengenai kesehatan anak bagi para orangtua yang mendampingi tumbuh kembang ananda dan memantau kesehatan mereka.
Qodarullah, saya mengalami hal yang mirip ini dua kali, di
anak pertama dan anak ke empat. Keduanya mengalami hal yang mirip. Overdiagnosa
TB. Overdiagnosa ini bukan saya sendiri
yang menyimpulkan ya, tapi hasil berdiskusi dengan dokter anak lainnya saat
saya mencari second opinion. Bagaimana kisahnya? Yuk sini saya ceritakan, hehe
berharap agar para orangtua lebih waspada dan ikut terlibat dalam penegakkan
diagnosa penyakit anak. Karena bagaimanapun, orangtua lah yang mengerti dengan
baik gejala yang dialami sang anak.
Mengenal TB
Sebelumnya, kita kenalan dulu dengan TB ya. Sebenarnya apasih
TB itu?
TB atau TBC singkatan dari Tuberkulosis, merupakan penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC akan menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu), biasanya berdahak, dan terkadang mengeluarkan darah.
Namun, kuman TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi
juga bisa menyerang tulang, usus, atau kelenjar. Penyakit ini ditularkan dari
percikan ludah yang keluar penderita TBC. Hal tersebut bisa terjadi ketika berbicara, batuk, atau bersin. Penyakit
ini lebih rentan terkena pada seseorang yang kekebalan tubuhnya rendah,
misalnya penderita HIV.
Gejala Tuberkulosis
Selain menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama, penderita TBC juga akan merasakan beberapa gejala lain, seperti:
- Demam
- Lemas
- Berat badan turun
- Tidak nafsu makan
- Nyeri dada
- Berkeringat di malam hari
Pengobatan Tuberkulosis
TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak. Beberapa tes
lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah foto
Rontgen dada, tes darah, atau tes kulit (Mantoux).
Kabar baiknya, TBC dapat disembuhkan jika penderitanya patuh mengonsumsi obat sesuai dengan resep dokter. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita perlu minum beberapa jenis obat untuk waktu yang cukup lama (minimal 6 bulan). Obat itu umumnya berupa:
- Isoniazid
- Rifampicin
- Pyrazinamide
- Ethambutol
Sulitnya Mendiagnosa TB pada Anak
Sayangnya, mendiagnosa TB pada anak tidak semudah
mendiagnosa TB pada orang dewasa.
Apalagi beberapa nakes menyebutkan penyakit ini dengan samar, yakni
Flek. Hal ini membuat rancu diagnosa TB itu sendiri. Ada yang bilang jika
anaknya terkena flek tapi bukan TBC. Padahal penyakit flek itu tidak ada. Flek
atau bercak suraman pada paru memang menjadi salah satu indikator adanya kuman
TB, namun hal ini juga tidak bisa menjadi satu-satunya penegak diagnosa TB
terutama pada anak.
Pemeriksaan penunjang medis yang sering dilakukan untuk
mendiagnosis TB pada anak meliputi pemeriksaan foto rontgen dada, uji
tuberkulin atau Mantoux, laju endap darah, limfositosis, dan serologi. Meskipun
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di hampir semua fasilitas kesehatan,
sebenarnya nilai atau bobot diagnostik untuk TB tidaklah tinggi. Bahkan, pada
pasien TB anak semuanya hampir tidak khas karena dapat dipengaruhi oleh banyak
aspek nonmedis dan dapat menyebabkan salah interpretasi. Oleh sebab itu, pada
kasus yang meragukan, semakin banyak pemeriksaan yang dilakukan dan menunjukkan
hasil positif, tentunya akan semakin mengecilkan kemungkinan terjadinya
kesalahan diagnosis. Demikian juga sebaliknya.
Karenanya, dalam kasus anak, penegakkan diagnosa TB
ditentukan dengan skoring. Semakin tinggi skor hasil pemeriksaan, menunjukkan
semakin besar kemungkinan anak terjangkit TB.
Saat anak-anak sakit dulu, memang kondisinya mereka batuk,
hasil rontgen pun kurang baik, meski tidak semua dokter mengatakan itu adalah
bercak suraman khas TB. Berat badan yang kurang menjadi poin yang menyumbang
paling banyak. Bersyukur kami kenal beberapa kolega dokter, sehingga kami pun
berkonsultasi , beberapa menyatakan bahwa ciri khas TB pada anak justru bukan
di batuk lama nya. Butuh pemeriksaan yang lebih rinci dan skoring untuk
menegakkan diagnosa.
Lalu apa dan bagaimana skoring TB pada anak itu?
Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk mendiagnosa TB
pada anak. Sistem skoring ini membantu para tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
guna mengurangi terjadinya underdiagnosis ataupun overdiagnosis TB. Harapannya sistem
ini bisa diterapkan di fasilitas-fasilitas kesehatan primer, meskipun tidak
semua fasilitas tersebut memiliki sarana untuk uji tuberkulin serta pemeriksaan
penunjang lainnya. Sehingga table skoring diperlukan untuk melihat kebih rinci
apakah anak benar-benar terjangkit kuman TB atau tidak.
Demikian gambar alur skoring diagnose TB pada anak:
Waspada Overdiagnosa
Ternyata, tidak sedikit terjadi kasus overdiagnosa terhadap
penyakit TB ini. Setelah dua kali mengalami hal yang sama, saya pun mulai mencari tahu apa sebenarnya yang
membuat kejadian overdiagnosa ini kerap terjadi.
Dalam tugas akhirnya, seorang mahasiswa kedokteran dari UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta bahkan menjelaskan, bahwa ada salah satu puskesmas
di tempatnya melakukan penelitian, didapati kasus overdiagnosa yang tidak
sedikit.
Tentu saja hal ini menjadi sangat disayangkan, mengingat
diagnose adalah hal penting dalam rangkaian pengobatan terhadap suatu penyakit.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa mendiagnosa TB ada anak
itu jauh lebih sulit, itulah yang membuat seringnya terjadi kasus underdiagnosa
ataupun overdiagnosa TB ini.
Overtreatment
Hal yang dikhawatirkan dari overdiagnosa adalah
overtreatment. Ya, treatment yang berlebihan untuk kasus yang tidak sesuai
tentu akan merugikan. Karena obat-obatan tentu saja memiliki efek samping. Maka
jika kegunaannya tidak perlu akan sangat disayangkan. Manfaatnya tidak
diperoleh sedang efek sampingnya jelas didapat.
Kasus 1
Hal ini saya alami saat anak sulung disuspect pasien TB.
Selama tinggal di rumah sakit qodarullah dokter anaknya berhalangan hadir beberapa
hari dan digantikan asistennya. Posisinya saat itu , saya menunggu hasil akhir
dari diagnosa anak saya. Ketidak hadiran dokter membuat saya tidak bisa
berdiskusi dan bertanya. Akhirnya kami keluar dari rumah sakit dan mendatangi
dokter anak lain untuk berkonsultasi.
Dokter anak ini justru bilang bahwa dari hasil pemeriksaan
yang sudah dilakukan, skoringnya terlalu lemah untuk dikatakan TB. Dokter katakan
bahwa beliau tidak khawatir terhadap kondisi paru-parunya, justru khawatir
dengan kondisi hati nya yang sepertinya membesar, karena perut atasnya terlihat
membesar.
Akhirnya dokter nenyarankan untuk USG abdomen guna memastikan
kondisi hati apakah memang terjadi pembesaran dan tes fungsi hati untuk mencari
tahu apakah ada kerusakan fungsi hati. Subhanallah, waktu itu deg degan banget
rasanya. Saat itu anak kami baru saja berusia
tahun. Alhamdulillah setelah usg dan tes fungsi hati, diketahui bahwa
semuanya baik-baik saja. Hatinya sedikit membesar memang, namun jaringan masih
normal. Begitu pula fungsi hati nya alhamdulillah masih normal. Setelah itu
tidak perlu treatmen lain, hati membesar diperkirakan karena sempat bekerja
keras dalam menerima obat-obatan selama di rumah sakit. maasyaAllah lemes dengernya
saat itu, bersyukur Allah masih ijinkan anak kami selamat dan tidak rusak
hatinya. Dari kejadian ini, kami kemudian berikhtiar menggunakan hal lain dalam
hometreatmen keika anak-anak sakit. Sebisa mungkin, obat kami hindari karena
bisa jadi hati anak-anak kami termasuk yang sensitif sehingga cepat beraksi
terhadap obat-obat yang dberikan.
Kasus 2
Yang ke dua adalah pengalaman saat mendampingi anak ke empat
masuk RS karena diagnosa yang sama. Setelah ujin mantoux keluar dan negatif,
dokter tetap menyatakan anak kami positif TB dan diminta memberikan obat OAT .
Ditambahkan pula vitamin B agar bisa melindungi hati si anak katanya.
Padahal sbelum mendapatkan diagnosa tersebut, saya melihat
sang dokter visit ke ruangan kami, ada salah satu anak dengan diagnosa yang
sama, sudah menjalani pengobatan selama 5 bulan. Namun kembali berulang
sakitnya, masuk RS kmbali dan kondisinya saat itu matanya kuning. Mungkin juga
kulit lainnya namun yang terlihat jelas adalah matanya yang kuning . Saya pikir
bisa jadi anak ini sensitif terhada OAT nya. Ketika dokter datang ia
mengatakan, “ibu..ibu..anaknya gimana ini, saya obatin parunya, hatinya yang
kena”.
Duh, sungguh, saya pun lemas, membayangkan perasaan si ibu
ini. Saya hanya bisa menghiburnya ketika dokter pergi. Bagaimana ia mengerti.
Ia hanya tau anaknya sakit, berobat dan
jalani apa yang diminta dokter.
Saya teringat sang anak sulung. Jika saya teruskan obatnya
tanpa ada indikasi jelas paparan kuman TB, bisa jadi sulung saya saat itu juga
bisa sampai kuning karena terganggu fungsi hatinya. Saya jadi bersyukur bersikap
ngeyel saat itu dan memilih keluar dari RS.
Pun dengan anak ke empat ini. Hasil mantouxnya negatif,
tidak ada indikasi infeksi bakteri TB. Tapi karena badannya kecil, maka skoring
nya dianggap 6 dan tetap diminta menjalani pengobatan 6 bulan dengan OAT.
Sayangnya ketika saya bertanya dan meminta diskusi lebih lanjut tentang
bagaimana skoring anak saya sampai 6 itu dokter menolak menjelaskan karena
beliau sedang sibuk dengan pasien lain.
Karena ikutan mutung, hehe nggak ya karena tidak yakin, dan pengalaman
sebelumnya, akhirnya kami memutuskan menolak memberi OAT tersebut dan
memutuskan pulang dari RS.
Kami lagi lagi berkonsultasi dengan doter anak lain, seorang
konsultan respiratory untuk mendiskusikan apa memang anak kami TB . tentu saja
saya tidak ingin mengambil resiko terganggunya fungsi hati dengan memberikan
OAT sedang anak saya tidak butuh.
Endingnya, dokter setuju belum perlu OAT tapi memang berat
badan yang minim perlu diatasi, anak saya disarankan diet tinggi kalori. Meski
saat itu kondisinya ia memang sulit makan, tapi setidaknya ini adalah titik
terang tetang kondisi anak kami yang memang belum perlu OAT.
Dan ternyata, masalah utamanya adalah di tongue-tie nya. Kapan
kapan saya cerita tentang ini ya.
Efek samping obat anti TB (OAT)
Efek Samping OAT
Sama seperti obat lainnya, OAT juga berpotensi menyebabkan
terjadinya efek samping. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Gangguan fungsi hati
Ini merupakan efek samping paling umum dari semua jenis OAT.
Gejalanya adalah mata dan kulit terlihat kuning (ikterus), dapat disertai mual
dan muntah, serta peningkatan enzim hati. Bila efek ini terjadi, dokter akan
menghentikan semua OAT untuk sementara. Kemudian, pengobatan baru akan dimulai
lagi secara bertahap sambil memantau fungsi hati.
Gatal dan kemerahan pada kulit
Keluhan ini juga merupakan efek samping dari hampir seluruh
jenis OAT. Gejalanya adalah kuilt tampak merah, gatal, dan bentol. Pada kondisi
berat, gejala dapat disertai sesak napas, demam tinggi, dan kulit melepuh. Hal
ini terjadi akibat reaksi hipersensitif terhadap OAT.
Nyeri sendi
Nyeri sendi dapat terjadi akibat efek salah satu jenis OAT,
yaitu pyrazinamid. Pasalnya, pyrazinamid dapat meningkatkan kadar asam urat
sehingga muncul nyeri sendi dan gout. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian
obat asam urat tanpa harus menghentikan konsumsi OAT.
Kesemutan hingga rasa terbakar di kaki
Kondisi ini adalah efek samping dari OAT, yaitu isoniazid.
Obat tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada saraf tepi (neuropati), sehingga
muncul gejala kesemutan dan rasa terbakar khususnya di ujung anggota gerak
tubuh. Pada kondisi tertentu, isoniazid tidak perlu dihentikan dan dokter akan
menambahkan vitamin B untuk mengurangi keluhan kesemutan.
Gangguan pendengaran
Masalah pendengaran biasanya disebabkan oleh OAT yang disuntikkan, yaitu streptomisin. Obat tersebut memang memiliki efek samping ototoksik alias merusak organ dalam pendengaran. Akan tetapi, tidak semua pasien yang mendapat streptomisin akan mengalami gangguan pendengaran. Efek samping umumnya hanya terjadi pada pasien TB lanjut usia. Berita baiknya, fungsi pendengaran biasanya akan kembali normal jika konsumsi obat dihentikan.
Urine dan keringat berwarna merah
Salah satu jenis OAT, yaitu rifampisin, dapat menyebabkan munculnya warna merah pada urine dan keringat. Hal ini sebenarnya adalah pigmen warna obat, bukan karena perdarahan. Namun, efek samping ini tetap harus diketahui pasien agar tidak kaget, panik, dan lantas menghentikan pengobatan ketika terjadi.
Nah, dengan efek samping tersebut, tentu saja kita tidak
ingin sembarang memberikan obat anti TB ini kepada anak, apabila ia tidak benar-benar
terinfeksi.
Apa yang Harus Orangtua Lakukan
Dengan memahami ”salah kaprah” (pitfalls) tentang TB pada
anak, seperti diuraikan di atas, dokter, dan orangtua atau keluarga pasien
dapat saling mengingatkan sehingga tidak terjerumus dalam overdiagnosis dan
overtreatment TB yang tidak perlu.
Orangtua diharapkan teliti dalam memperhatikan gejala yang
timbul pada anak. Biasanya dokter juga bertanya pada orangtua tentang apa yang
dialami sang anak. Orangtua juga hendaknya bersikap aktif dalam bertanya
tentang kondisi serta penyakit sang anak, juga turut mencari tahu dan
mempelajarinya agar bisa ikut memahami kondisi anak.
Untuk kasus anak saya, karena saya memiliki alergi, beberaa anak mengalaminya juga, dan batuk ilek bisa mengarah ke asma untuk mereka. Second opinion, juga bisa saja diambil dalam mencari tahu diagnosa yang tepat. Hal ini memang tidak efisien, namun bisa membuka kesempatan mendapatkan diagnosa yang lebih tepat. Karena kesembuhan penyakit, diawali dengan diagnosa yang tepat. Dan tentu saja, di luar ikhtiar yang ada, doa kepada Yang Maha Kuasa adalah kunci dari segalanya.
Semoga kita senantiasa diberi kemudahan
Lengkap banget penjelasannya mb Mya. Dari bagan skor, aku jadi banyak tahu tentang TB ini. Ilmu baru yang bermanfaat banget, jadi bisa belajar TB.
BalasHapusBtw, aku setuju dengan mb Mya. Aku tipe orang yang kurang yakin kalo periksa hanya ke 1 dokter, aku lebih yakin kalau periksa kedua dokter. apalagi kalo hasilnya masih meragukan, penjelasannya kurang meyakinkan hehe..
Pengalaman Mom Mya bener-bener membantu banget buat saya yang awam sama penyakit ini, terlebih penyakit yang rentan menyerang anak-anak bahkan balita. Memang paling bener minta saran dari banyak pihak ya Mom sebelum ambil keputusan soal treatment. Saya nggak bayangin kalau cuma manut-manut aja dengan satu saran dokter, duh... Untuk kasus-kasus diagnosis yang kurang teliti memang banyak ditemukan dan mungkin jarang yang speak up dan solutif. Dari artikel ini nggak hanya speak up tapi juga ngasih pembelajaran banget terutama buat saya..
BalasHapusAh sepakat banget. Aku tipe orang tua yang hati-hati bgt dalam pemberian obat. Jadi memang harus ada diagnosa tepat. Kadang Ibu itu ada feel not good memang. Jadi cari second oppinion bahkan third oppinion itu penting. Apalagi pandemi kaya gini :( makasih Mom artikelnya lengkap, jd aku banyak belajar jg. Sehat selalu sekeluarga :)
BalasHapusIni yang dikhawatirkan ya mbak, terjadinya overdiagnosa terhadap penyakit TB. Miris juga dengan pasirn yang anakknya ngefek ke hati akibat pengaruh obat. Ga kebayang gimana perasaan ibunya. Sehat-sehat ya kita.
BalasHapusYa Allah emak emak kuattttt slaut banget sama ibuk satu ini..maksih y pengingatnya
BalasHapusAku pun suka worry lho sama anak yg salah satunya bb nya gak naik2 hiks.
Jujur aku baru ngeh jika ada Pemeriksaan kulit juga pada TB ya..Mantoux