Berawal dari Harmonisasi Pasangan
Harmonis adalah kata yang didambakan setiap keluarga, setiap
pasang suami istri. Ini adalah modal utama bagi keberhasilan pendidikan
anak-anak. Seperti yang dikatakan dalam Al Quran di surah Al Furqon ayat 74;
Dan orang-orang yang berkata,
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Memohon kepada Allah pasangan dahulu, baru kemudian
keturunan. Karena menyelaraskan pasangan dalam harmoni, akan berpengaruh pada
keturunan kelak.
Meski kodrat
penciptaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta dalam memperjuangkannya
tidak mudah, diperlukan perjuangan yang luar biasa, namun bukan berarti tidak
bisa disatukan dalam harmoni.
Maka mari kita tengok, salah satu materi yang ummi mya dapat
dari kuliah Akademi Keluarga Parenting Nabawiyah ini. Mari kita belajar, mencari
harmoni keluarga dalam panduan Nabawi. Harmonisasi Suami Istri ala Keluarga
Nabi.
Bukan Harmoni Ala Keluarga Abu Lahab
Salah satu keluarga yang terkenal harmonis adalah keluarga
Abu Lahab. Kedua pasangan suami istri ini pasangan yang serasi. Suami tampan
dan Istri yang juga rupawan, hingga terkenal dengan Ummu Jamil, karena begitu
indah rupanya.
Bacalah surah Al Lahab di dalam AL Qur’an, kita akan temukan
di dalamnya kisah keluarga ini, yang begitu harmonis. Mereka adalah pasangan
sehidup semati, tetap bersama hingga akhirat nanti.
Keduanya adalah keturunan tokoh besar. Abu Lahab keturunan
Bani Hasyim, sedang istrinya Ummu Jamil, keturunan Bani Umayyah. Keduanya hidup
dalam kekayaan. Anak-anak mereka juga dididik menjadi orang-orang penting dalam
tatanan masyarakatnya.
Namun apakah harmonisasi yang demikian yang diharapkan dari
keluarga muslim? Tentu saja bukan. Karena mereka harmoni dalam dosa dan
permusuhan. Dan kelak mereka bersama hingga ke neraka.
Ketidakharmonisan Keluarga
Belajar Dari Kesedihan Asiyah
Maka kita mengingat betapa sedihnya Asiyah yang kemudian
berdoa pada Tuhannya,
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi Mu
dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan
selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (Q.S. At Tahrim : 11)
Bagi Asiyah, istana megah tak berarti apa apa, tak ada kebahagiaan di sana ketika di dalamnya tak ada harmoni.
Istri Fir’aun ini meminta rumah di surga. Karena istana yang
disediakan tidak mendatangkan kebahagiaan. Rumah dalam al quran dan hadits
disebut dengan kata bait yang maknanya tidur, menginap, istirahat di malam
hari. Karenanya, rumah baru layak disebut rumah jika ia nyaman untuk
beristirahat. Itulah mengapa asiyah meminta rumah di surga. Tanpa
harmoni, istana tak layak disebut rumah.
Goyahnya Harmoni
Surah At Tahrim mengangkat kisah keluarga harmoni Rasulullah
bersama istri-istri beliau. Namun harmoni itu pun pernah goyah. Penyebabnya
adalah : kecemburuan yang membabi buta. Kecemburuan yang tidak benar dan tidak
pada tempatnya.
Kecemburuan yang bukan merupakan cinta tapi duri dalam
keindahan. Bahkan kecemburuan yang mendorong pasangan jatih ke dalam kesalahan.
Rasulullah harus ditegur Allah karena berbuat kesalahan mengharamkan
madu yang dihalalkan Allah. Karena terdorong oleh kecemburuan istri.
Selain itu, surah At Tahrim juga berkisah tentang tiga
keluarga lain yang tidak harmonis. Keluarga Nabi Nuh dan keluarga Nabi Luth,
serta Fir’aun dan istrinya.
Tiga keluarga ini berbeda masalah, namun memiliki hal yang
sama, berujung pada kerusakan. Kerusakan yang disebabkan pengkhianatan. Yakni pengkhianatan
istri terhadap suaminya. Bahwa istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak mengikuti
aqidah dan risalah yang dibawa oleh suaminya. Allah menyebut suami-suami mereka
yang seorang Nabi adalah orang sholeh. Jika berkhiatan, artinya para istri ini
bukanlah istri yang sholehah.
Kesimpulannya, keharmonisan bisa hilang sama sekali disebabkan oleh kerusakan yang dilakukan oleh pasangan.
Kerusakan itu bisa
berupa pengkhianatan terhadap risalah kebaikan yang diemban pasangan atau kedzaliman
dan pergaulan pasangan yang rusak. Dan keluarga yang harmoni bisa goyah
keharmonisannya karena, kecemburuan yang tidak tepat.
Keselarasan Kesholehan
Masih dalam surah At Tahrim, ayat pembuka dimulai dengan anggilan , wahai Nabi. Semua kesholehan tergabung dalam satu kata, Nabi. Maka pantas jika asangannya adalah sosok yang disebutkan Allah di ayat ke5
"Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan".
Maka membangun keselarasan kesholehan menjadi kewajiban
suami istri. Artinya suami maupun istri memiliki tekad yang sama untuk mencapai
kesholehan diri dan saling membantu agar kesholehan diri itu menciptakan
harmoni dan keselarasan yang dapat diterjemahkan dalam 3 poin :
Harmonisasi ala Rasulullah dan Para Istri
Mari kita bercermin ada sebagian istri Nabi yang mengajari
kita kemampuan menyelarasakan dirinya dengan suami yang merupakan orang yang paling
mulia di muka bumi.
Sebelumnya menjadi catatan, bahwa kesholehan itu dimulai
sari suami sebagai kepala rumah tangga. Dan istri akan menyesuaikan. Namun jika
suami tidak seperti itu maka perlu ada gerakan yang massif dari istri untuk
menarik suaminya menuju kesholehan. Mungkin akan sulit namun tetap perlu
dicoba.
Khadijah
Kita belajar pada ibunda Khadijah melalui ujian Rasulullah
kepadanya. Rasul menyebutkan bahwa Khadijah istri yang tak ada duanya dan tak
tergantikan, karena ia:
2. Membenarkan saat orang lain mendustakan
3. Memberi dukungan harta
4. Memberi penyejuk mata keturunan
Melalui pujian ini, ada kata kunci yang bisa kita ambil
Khadijah pula lah yang menghibur Rasulullah saat beliau
merasa takut ketika menerima wahyu pertama yang sangat mengejutkan dirinya. Khadijah
menenangkan;
“Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan
engkau. Engkau selalu menyambung tali ersaudaraan, membantu orang yang
sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu,
menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.”
Mungkin kita belum bisa memberikan yang terbaik untuk pasangan
kita. Belum bisa mengatur nafas rumah tangga kita dalam nafas ketakwaan. Tapi paling
tidak, kita berusaha menjadi pasangan yang mampu menjadi pakaian untuk pasangan
kita. Yang menutupi auratnya, yang melindunginya dari hal hal yang dapat
melukai.
Aisyah
Beliau dikenal sebagai istri yang mampu mengambil sisi ilmu
sang suami. Menjadi penampung ilmu paling lapang bagi ilmu suaminya. Dan sepeninggal
suaminya, Aisyah menjadi sumber ilmu bagi masyarakatnya.
Suami yang cerdas pastinya akan senang jika istrinya mampu
mengimbangi dirinya dalam ilmu.
Zainab binti Khuzaimah
Dikenal sebagai ibunya orang-orang miskin. Begitu dekat dan
dikenal oleh orang-orang miskin karena kedermawanannya. Ini adalah bentuk
duplikasi terhadap kedermawanan Rasulullah sebagai suaminya. Suami akan merasa
nyaman dengan sifat kedermawanannya karena didukung dengan kedermawanan istri pula,
bukan kedermawanan yang harus bertabrakan dengan egoisme dan kekikiran istri.
Ibarat Dua Roda
Jika kita dianugerahi keturunan, maka anak-anak adalah roda-roda kecil yang harus berputar. Tetapi perputarannya tergantung pada perputaran roda-roda penting (ayah dan ibu). Jika roda penting itu berputar dengan baik, maka roda roda kecil pun demikian. Jika ada satu yang bermasalah, pasti akan mempengaruhi perputaran roda keseluruhan. Apalagi jika kedua roda utama berhenti.
Ada yang penting dari dua roda penting, yakni roda utama. Roda
suami/ayah, jika roda ini berputar dengan baik, maka akan sangat mudah memutar
roda istri dan juga anak-anak. Namun jangan berkecil hati jika yang berputar
hanya roda istri. Memang lebih berat tugasnya, namun tetap harus berputar.
Semoga Allah mudahkan . Allahua’lam.
masyaAllah, bener ya mb. Harmonis adalah kunci utama ketahanan dan kelanggengan keluarga.
BalasHapus